Kosmologi Sunda
“Pada mulanya kami mengira bahwa ketiga
naskah (koropak 420, 421 dan 422) berisi teks yang bertalian dengan
ajaran agama Islam, karena dalam katalog naskahnya yang dibuat oleh C.M.
Pleyte awal abad 20 naskah koropak 420 berisi ajaran Sunan Gunang Jati
(lesjes Soenan Goenoeng Djati). Sunan Gunung Jati adalah tokoh penyebar
agama dan penegak kekuasaan Islam di Tatar Sunda yang dipandang sebagai
salah satu seorang wali dan Walisanga di Pulau Jawa.
Sementara
naskah koropak 421 disebutkan berisi teks campuran (Gemengd) dan naskah
Kropak 422 diberi judul Jatiraga. Ketiga naskah tersebut berasal dari
satu tempat, yaitu Kawali (Ciamis), dan diberikan oleh Bupati Galuh R.A.
Kusumadiningrat yang memang bertanggung jawab atas penyimpanan
benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Pajajaran ………..”.
Itulah
Kata Pengantar Tim Penelitia Koropak 420, 421 dan 422 yang ditulis
didalam buku Gambaran Kosmologi Sunda, disusun oleh Undang A. Sudarsa
dan Edi S. Ekadjati.
Tidak perlu diragukan lagi tentang muasal
naskah tersebut ditemukan, karena Kawali pernah menjadi ibukota Sunda –
Galuh pada abad 14 – 15 M. Pada pasca itu pula disinyalir Islam sudah
mulai masuk kedaerah Galuh. Banyak pula para pembesar dan masyarakat
Pajajaran yang masih “tuhu ka Pajajaran” mengungsi ke Kawali setelah
Pajajaran diserang dan diduduki pasukan Islam Banten-Cirebon. Selain
fakta kesahihan naskah patut pula diperhitungkan tentang posisi Bupati
Galuh R.A. Kusumadiningrat, sebagai trah Pajajaran yang memiliki
tanggung jawab menyimpan benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan
Pajajaran.
Didalam pengantar Buku Gambaran Kosmologi Sunda
dijelaskan nama-nama yang tepat untuk masing-masing koropak. Untuk
naskah koropak 420 diberi nama Kosmologi Sunda. Naskah koropak 421
dibagi menjadi 4 macam teks, yakni Silsilah Prabu Siliwangi ; Mantera
Aji Cakra ; Mantera Darmapamulih ; dan ajaran Islam. Sedangkan naskah
422 diberi nama Jatiraga.
Pemberian nama terhadap naskah
tersebut juga disesuaikan dengan isi naskah. Misalnya Koropak 420 semula
dianggap berisi ajaran Sunan Gunang Jati (lesjes Soenan Goenoeng
Djati), sebagaimana yang disebutkan Pleyte pada awal abad 20, namun
berdasarkan Tim Peneliti dianggap kurang tepat.
Istilah Gunung Djati dalam naskah tersebut hanya disebutkan satu, itu pun merujuk pada kosmologi Sunda Pra Islam, yakni :
Nu ngeusina Gunung Jati, -
Bukit Tri Jantra si Jati, -
Dina bukit Palasari, -
Mandala si Pasekulan, -
Ngaranna Bungawari, -
Ujung Gangga Marangwati, -
Tajak Barat ka - maksahan, -
Ngaran na Puncak Akasa.
(Penghuni
di Gunung Jati, - bukit Tri jantra si jatri, - terletak di Bukit
Palasari, - ilayah si Pasekulan, - Namanya Bungawari, - Ujung Gangga
Marangwati, - Tajak Barat tempat penyempurnaan, - namanya Puncak
Angkasa).
Tentunya justifikasi atas perbedaan Kosmologi ini
telah diketahui oleh para peneliti Naskah melalui cara membandingkan
kedua Kosmologi tersebut.
Dalam uraian Kosmologi Sunda
didalam Pikiran Rakyat, edisi Kamis 2 Juni 2005, EDI S. EKADJATI
menghubungkan antara naskah Kosmologi Sunda (koropak 420) dengan naskah
Jatiraga (koropak 422). Hubungan naskah dimaksud, antara lain sebagai
berikut :
Sehubungan dengan adanya jalan ideal yang
menghubungkan bumi sakala (alam dunia) dengan buana niskala dan buana
jatiniskala (alam akhirat), maka dalam naskah lontar Kropak 420
diutarakan secara panjang lebar tentang ciri-ciri dan sifat kehidupan di
bumi sakala, sedangkan dalam Kropak 422 dikemukakan ciri-ciri dan sifat
kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala yang menggiring
manusia agar memilih jalan ideal yang lurus menuju buana niskala yang
berupa surga yang menyenangkan, bahkan buana jatiniskala yang paling
tinggi derajatnya.
Dengan demikian, rasanya kurang lengkap jika membaca naskah Kosmologi Sunda tanpa membaca Jatiraga.
Naskah Kosmologi Sunda dan Jatiraga
Menurut
Edi S. Ekadjati didalam Islam jagat raya terdiri dari 5 alam, yaitu
alam roh, alam rahim, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat.
Kosmologi menurut konsep Islam didasarkan pada kronologis kehidupan
manusia (dan makhluk lainnya). Sedangkan Naskah Kosmologi Sunda membagi
menjadi 3 alam, yaitu bumi sangkala (dunia nyata), buana niskala (alam
gaib), dan buana jatiniskala (dunia atau alam kemahagaiban sejati).
Bumi
sangkala, alam nyata di dunia tempat kehidupan makhluk yang memiliki
jasmani (raga) dan rohani (jiwa), yakni manusia, hewan, tumbuhan, dan
benda lain yang dapat dilihat baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak. Buana niskala, alam gaib tempat tinggal makhluk gaib yang
wujudnya hanya tergambar dalam imajinasi manusia, seperti dewa-dewi,
bidadara-bidadari, apsara-apsari, dll. Jumlah dan ragam makhluk tersebut
banyak dan bisa bergabung satu dengan lainnya serta berkedudukan lebih
tinggi dari manusia. Buana niskala, merupakan kata lain dari surga dan
neraka”.
Naskah Kosmologi Sunda mencerminkan gambaran jenis
penghuni dan tingkat kegaiban dari masing-masing alam. Digambarkan pula
kedudukan masing-masing, baik kosmos maupun penghuninya. Namun naskah
tersebut tidak mengungkapkan adanya alam yang dihuni oleh roh manusia
sebelum lahir ke alam dunia (bumi sakala).
Didalam Islam
alam roh dan alam rahim yang merupakan alam gaib menjadi tempat
kehidupan manusia sebelum lahir ke dunia (alam dunia), sementara alam
barzah dan alam akhirat yang juga merupakan alam gaib menjadi tempat
kehidupan manusia sesudah mengalami kematian. Kehidupan manusia di alam
dunia sangat menentukan kehidupannya di alam kubur dan alam akhirat.
Teks
buhun umumnya mengabarkan perihal cita-cita urang sunda buhun jika
meninggalkan alam dunya, yakni “balik ka Hiyang, lain ka Dewa”. Namun
yang menentukan tempat seseorang sesudah kematian adalah sikap,
perilaku, dan perbuatannya selama ia hidup di dunia. Jika sikap,
perilaku, dan perbuatannya buruk dan bertentangan dengan ajaran agama,
maka akan kembali lagi ke alam dunia dalam wujud yang lebih rendah
derajatnya (kepercayaan reinkarnasi) atau masuk ke dalam siksa neraka.
Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya baik ia (rohnya) akan naik menuju
alam niskala yang menyenangkan (surga). Mungkin masalah ini lebih jelas
diuraikan didalam Naskah Sewakadarma, sebagaimana yang dijelaskan
Ayatrohaedi. Pada intinya menguraikan cara persiapan menghadapi maut
dengan cara yang indah, serta bagaimana ketika jiwa setelah meninggalkan
raganya.
Jika saja isi dari Koropak 420 dipersamakan dengan
sastra nampak ada semacam wawancara imajener, atau mungkin juga bagi
para pencari makna hidup dianggap sebagai “dialog bathin”, antara
Mahapandita ; Pwah Betari ; dan Pwah Sanghyang Sri. Ketiganya dianggap
mewakili penghuni bumi sakala ; kahyangan ; dan Surga. Dialog bathin
ketiganya menggambarkan bagaimana para penghuni bumi sakala, Kahyangan
dan Surga melaksanakan tugasnya masing-masing.
Suatu contoh isi naskah dimaksud dipaparkan oleh Edi S. Ekadjati, sebagai berikut :
Pernyataan dan pertanyaan Mahapandita :
"Lampah tunggal na rasa ngeunah, paduum na bumi prelaya, maneja naprewasa, ka mana eta ngahingras?"
(Berjalan teriring rasa senang, saling bagi saat dunia binasa, tembus memancarkan sinar. Ke manakah harus meminta tolong?).
atas pertanyaan diatas, Pwah Batara Sri, menjelaskan :
"Ka saha geusan ngahiras, di sakala di niskala, manguni di kahyangan, mo ma dina laku tuhu, na jati mahapandita,"
(Kepada
siapakah mohon pertolongan, baik di sakala maupun di niskala, terlebih
lagi di kahyangan, kecuali dalam perilaku setia, pada kodrat
mahapandita).
Naskah tersebut menjelaskan pula tentang kehidupan di bumi sakala :
"Samar
ku rahina sada, kapeungpeuk ku langit ageung, kapindingan maha
linglang, ja kaparikusta ku tutur, karasa ku sakatresna, kabita ku rasa
ngeunah, kawalikut ku rasa kahayang, bogoh ku rasa utama, beunang ku
rasa wisisa."
(Samar oleh keadaan pagi hari, tertutup oleh
langit yang luas, terhalangi keluasan langit sebab terjebak oleh cerita,
terasa oleh segala kecintaan, tergiur oleh rasa nikmat, tergugah lagi
oleh keinginan, senang oleh perasaan luar biasa, terpikat oleh perasaan
mulia).
Tentang ajaran moral keagamaan :
setiap
makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana
niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai
dengan kadar bayu (kekuatan), sabda (suara), dan hedap (iktikad) yang
diterima dari Sang Pencipta. Manusia pun hendaknya mampu menyeimbangkan
bayu, sabda, dan hedapnya masing-masing melalui berbagai kegiatan tapa
(pengabdian) lahir dan batin agar kelak bisa kembali ke kodratnya
bagaikan dewa.
Dalam naskah ini dijelaskan pula tentang masalah “Tapa”, sebagai berikut :
melaksanakan
tapa manusia hendaknya diiringi oleh penuh rasa keikhlasan, jangan
rakus, jangan mengambil hak yang lain supaya tidak tersesat kembali ke
bumi sakala dan mengalami sengsara. Apabila hendak berbuat kebajikan,
janganlah setengah hati! Itulah kodrat pendeta dan hakikat pertapaannya
yang dilakukan tak kenal siang dan malam. Perhatikanlah orang yang
benar! Carilah orang yang menjalankan tapa! Semoga berhasil berbuat
kebaikan.
Janganlah menjalankan tapa yang salah! Yaitu tapanya
orang yang suka menyiksa badan, berlebihan dalam hal kekuasaan,
terperdaya oleh isi hati, dan tersesat karena berahi. Itulah perilaku
yang tak bermanfaat. Menjadi pendeta, janganlah hanya mengaku-aku,
melainkan hendaknya disertai kekuasaan sejati.
Kemudian pesan moral lainnya yang terkandung di dalam naskah tersebut, sebagai berikut :
"Mulah
cocolongan bubunian, jadi budi nupu manglahangan, ngagetak ngabigal,
mati-mati uwang sadu, ngajaur nu hanteu dosa, hiri dengki nata papag,
pregi ngajuk ngajalanan,"
(Janganlah mencuri
sembunyi-sembunyi, berpikiran tamak menghalangi, menggertak merampok,
suka membunuh orang suci, memeras yang tak berdosa, iri dengki melukai
memukul, berani mengawali berutang).
Lebih jauh Edi S.
Ekadjati menjelaskan tentang makna Kosmologi Sunda yang terkandung dalam
naskah, bahwa : konsep kosmologi Sunda Kuna bukan hanya dimaksudkan
untuk pengetahuan semata-mata mengenai struktur jagat raya, melainkan
lebih ditujukan sebagai media agar kehidupan manusia jelas tujuan
akhirnya, yaitu kebahagiaan dan ketenteraman hidup di buana niskala dan
buana jatiniskala yang abadi.
Sumber Rujukan :
1. Gambaran Kosmologi Sunda, Undang A Sudarsa dan Edi S. Ekadjati, Kiblat Buku Utama, Bandung – 2006.
2. Kosmologi Sunda, EDI S. EKADJATI, Pikiran Rakyat, Kamis, 2 Juni 2005.
3. Nganjang ka Kalangengan, agama Urang Sunda Pra – Islam menurut Naskah, Ayatrohaedi, dalam Buku
Tulak Bala, Kiblat Buku Utama, Bandung – 2003.
sUMBER: http://nusadwipa.blogspot.com/2008/12/kosmologi-sunda.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar